“Polisi moral dadakan semakin merajalela sekarang. Ambang privasi dan pilihan hidup seseorang seakan menjadi “gorengan” untuk diburu bersama. Atas nama “ikut mengingatkan” semua serba suci dan paham segalanya. Kalian memang peduli atau hanya ingin menilai dan menghikimi saja?”
Tuntutan patuh akan moral yang kau percaya dan sembah hanya bermodalkan apa yang kau pahami dan percaya. Penerapan dan seranganmu yang bertubi bukan tanpa alasan. Ada aksi ada reaksi. Kau mungkin melihat terlebih dahulu, mulai membaca dan mengamati satu dua hal dari satu sudut pandang. Sesekali sempat terbersit melihat dari sisi yang berbeda, bahkan kau juga sempat memposisikan dirimu di atas “kaki” orang yang sedang kau urusi hidupnya.
Akhir-akhir ini kau suka sibuk diterpa satu dua berita yang beragam. Otakmu dituntut mencerna dan merespon setiap yang masuk dan keluar. Ragam perspektif bermuculan, tapi kau tetap menggunakan sudut pandang yang kau percaya dan yakini. Atas nama moral, agama, paham, dan background yang kau miliki, kau tak mau tahu apa yang mereka utarakan. Intinya, kau lah yang paling benar.
Kau juga ikut “mengawasi” dan menjadi pengawas figur dan tokoh-tokoh yang muncul. Sekalipun kau tidak mengenalnya. Bahkan tak jarang kau yang hanya baru sekali mendengar dan tahu namanya, kini ikut mengurusi hidupnya. Ketika dilempar pertanyaan :
“Bila tak suka, untuk apa kau mengomentari dan menjadi “polisi” bagi dia?”
“Kan kamu tidak mengenal dia yang sebenarnya, jadi buat apa?”
Dan dengan lantang kau menjawab :
“Aku harus mengingatkannya!”
“Apa yang kupercaya mengajarkanku untuk ikut mengurusi hidup dan keputusan pribadinya”
“Tidak ada salahnya mengingatkan sebelum dia berlarut dalam apa yang dia lakukan kan?”
Aku tak menyalahkanmu begitu saja tentunya. Bahkan kuhargai kejujuran mu itu. Belum lagi setelah kuketahui, kau tidak sendiri. Masih ada “polisi-polisi” moral lainnya yang berpemikiran dan berpandangan yang sama sepertimu. Yang kubingung adalah sikap dan cara mu menjadi polisi dan pengawas bagi mereka. Tak jarang kau menyerang dan ikut menasehati dai dengan moral-moral dan standar sosial yang masyarakat kita punya, bahkan dengan ayat-ayat suci yang kau sembah dan percaya.
Apa yang kau percaya seakan menajadi parameter baru yang seakan menjadi paduan dan parameter baru untuk suatu kelayakan hidup seseorang. Ranah pribadi dan pilhan hidupnya turut menjadi bagian dan harus kau santap juga. Demi mewujudkan masyarakat imajiner yang kau dan rekanmu dambakan walau sebenarnya kau pun tidak tahu apa sebenarnya tujuan akhir dari apa yang kau percayai itu. Sempat ku cekal dan kutimpali komentarmu. Bahkan kupenasaran,
“Apa yang sebenarnya membuatmu seakan menjadi polisi moral bagi mereka yang berbeda itu?”
“Bagaimana bila kau berada diposisi mereka?”
“Sadarkah kau kalau kita semua di sini hidup berdampingan satu sama lain?”
“Sadarkah kau kalau kau tidak bisa begitu saja memberi standar kepada orang lain dengan apa yang kau yakini dan percaya?”
Mari sejenak mengheningkan cipta atas dasar rasa menghakimi yang semakin ke sini semakin menjadi-jadi bagi kita. Padahal kita berbeda satu sama lain. Semoga arwah dan sisa niatan baik yang kita punya, masih ada dan bisa dipakai di masa yang akan datang. Tanpa Lupa tetap menghargai, menghormati, dan tetap memposisikan diri kita terhadap orang lain yang berbeda itu.
Tanpa mengurangi rasa kasih ku padamu sebagai rekan yang satu masyarakat yang indah dan beragam, mari kita bersama bergandengan tangan. Membuka mata, hati, dan telinga kita, menjadi berbeda bukan lantas menjadi alasan untuk kita muncul menjadi “polisi baru” bagi orang lain.
*Alam Semesta Menyertai Kita Semua*
Xo
Momos